Indonesia menargetkan netral karbon (zero carbon) pada tahun 2060. Untuk mewujudkannya, sistem kelistrikan di Tanah Air harus sepenuhnya beralih ke sumber energi bersih seperti geothermal dan nuklir, serta energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan air. Namun, tantangan besar menghadang—PLN, sebagai perusahaan listrik milik negara, tidak akan sanggup memenuhi kebutuhan listrik nasional sendirian.

Monopoli PLN dan Tantangan Energi Bersih

Selama ini, PLN memegang kendali utama dalam penyediaan listrik di Indonesia. Sebagai perusahaan milik negara, PLN cenderung memonopoli sektor ini dengan sedikit ruang bagi pihak lain untuk ikut serta dalam pengembangan energi. Namun, dengan meningkatnya permintaan listrik, terutama dari sektor industri dan pusat data, PLN tidak mungkin bisa sendiri mewujudkan target netral karbon 2060.

Di era digital sekarang ini, kebutuhan listrik semakin meningkat. Kita dapat melihat industri data center yang semakin bertumbuh pesat beberapa tahun terakhir. Selanjutnya, era industrialisasi juga akan terjadi seiring dengan majunya teknologi dan relokasi pabrik. Berapa banyak karbon yang bertambah jika PLN terlalu lamban dalam menghasilkan energi bersih?

Transisi ke energi bersih membutuhkan investasi besar, teknologi mutakhir, dan partisipasi luas dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pelaku industri. Jika PLN terus mengandalkan pendekatan monopoli, maka ketertinggalan dalam transisi energi akan semakin besar.

Mengapa PLN Harus Bekerjasama?

Untuk mencapai target netral karbon, PLN harus mulai berkolaborasi dengan berbagai pihak, baik dari sektor swasta, komunitas lokal, hingga startup teknologi energi. Bentuk kerjasama yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Kemitraan dengan Swasta dalam Pembangkit Energi Terbarukan
    Swasta memiliki sumber daya dan teknologi yang mampu mempercepat transisi energi. PLN bisa bermitra dengan perusahaan energi untuk membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar, turbin angin, serta pembangkit listrik tenaga air yang lebih efisien.
  2. Mendukung Inisiatif Energi Mandiri di Masyarakat
    PLN dapat membuka skema kerjasama dengan rumah tangga dan komunitas lokal dalam pemasangan panel surya. Sistem net metering harus diterapkan secara lebih luas, memungkinkan masyarakat menjual kembali kelebihan listrik dari PLTS ke jaringan PLN.
  3. Investasi dalam Teknologi Penyimpanan Energi
    Intermitensi adalah tantangan utama dalam energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin. PLN harus bermitra dengan pelaku industri untuk mengembangkan baterai penyimpanan energi skala besar, sehingga pasokan listrik tetap stabil meskipun produksi energi fluktuatif.
  4. Mendorong Industri untuk Beralih ke Energi Bersih
    PLN dapat menawarkan insentif bagi industri yang beralih ke listrik berbasis energi terbarukan. Selain itu, perlu dibuat skema tarif khusus bagi perusahaan yang menggunakan listrik bersih, sehingga semakin banyak pelaku usaha yang berinvestasi dalam energi hijau.
  5. Kolaborasi dalam Pengembangan Geothermal dan Nuklir
    Pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi (geothermal) dan nuklir membutuhkan investasi besar serta teknologi tinggi. PLN harus menggandeng investor dan perusahaan internasional yang memiliki pengalaman di sektor ini agar pengembangan energi tersebut berjalan lebih cepat dan efisien.

Netral karbon 2060 butuh energi bersih. PLN harus berubah dari penjual listrik menjadi penyedia infrastruktur PLTS. Energi terbarukan bukan monopoli, tapi hak setiap mahluk hidup.

Memonopoli dengan dalih untuk kesejahteran masyarakat yang kenyataanya malah mempersulit, tentu ini bukanlah yang dimaksud UU 1945 pasal 33.

Literasi UU 1945 Pasal 33 dan Hak Asasi Energi Matahari

Undang-Undang 1945, Pasal 33 menegaskan bahwa masyarakat memiliki kebebasan untuk menggunakan PLTS, sementara pengusaha juga dibebaskan dengan pengawasan agar tetap dalam koridor regulasi yang benar. Pemahaman ini penting karena PLN adalah perusahaan yang keuntungan utamanya dinikmati oleh karyawannya sendiri.

Saat ini, jumlah karyawan PLN diperkirakan mencapai sekitar 53.000 orang, sementara populasi Indonesia pada tahun 2025 diperkirakan mencapai 280 juta jiwa, dan pada tahun 2060 bisa mencapai lebih dari 330 juta jiwa.

“Jika PLN tetap memaksakan monopoli energi, maka ini adalah bentuk ketidakadilan sosial yang bertentangan dengan amanat konstitusi negara.”

Berdasar perbandingan tersebut, jelas bahwa PLN tidak mungkin memenuhi kebutuhan seluruh masyarakat Indonesia hanya dengan menjual energi listrik. PLN harus bertransformasi menjadi penyedia perangkat PLTS dan infrastruktur energi, bukan sekadar menjual listrik ke masyarakat.

Matahari adalah hak asasi manusia, dan jika PLN terus membatasi akses terhadap energi surya melalui perizinan dan birokrasi yang berbelit, maka ini dapat dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak konstitusional rakyat Indonesia.

Mengapa Netral Karbon 2060 Penting?

Target ini merupakan bagian dari upaya global untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Indonesia, sebagai salah satu negara dengan emisi karbon tinggi, berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil seperti batu bara dan minyak, serta meningkatkan penggunaan energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, air, dan geothermal.

Salah satu tantangan terbesar dalam mewujudkan netral karbon 2060 adalah ketergantungan Indonesia pada batu bara. Saat ini, lebih dari 50% listrik nasional masih dihasilkan dari PLTU batu bara yang dikenal murah dan stabil, tetapi merupakan penyumbang emisi karbon terbesar.

Transisi ke energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan geothermal membutuhkan investasi besar serta infrastruktur yang memadai, sementara harga energi hijau masih dianggap kurang kompetitif dibandingkan bahan bakar fosil.

Selain itu, monopoli PLN dalam sektor kelistrikan juga menjadi hambatan. Meskipun energi terbarukan semakin berkembang, regulasi dan birokrasi yang kompleks sering kali menghambat masyarakat dan industri untuk berkontribusi secara mandiri, terutama dalam pemasangan PLTS atap.

Ketentuan perizinan yang ketat serta pembatasan kapasitas ekspor listrik ke jaringan PLN menunjukkan bahwa perusahaan ini masih berusaha mempertahankan dominasinya, meskipun secara teknis tidak akan mampu memenuhi target netral karbon sendirian.

Tantangan lain datang dari kesiapan teknologi dan pendanaan. Indonesia masih membutuhkan investasi besar untuk membangun infrastruktur energi terbarukan, termasuk jaringan listrik yang lebih fleksibel agar mampu mengakomodasi sumber daya energi yang bersifat intermiten seperti tenaga surya dan angin.

Keterbatasan teknologi penyimpanan energi juga menjadi masalah, karena energi dari matahari dan angin tidak selalu tersedia sepanjang waktu.

Di sisi lain, perubahan perilaku masyarakat dan industri juga menjadi faktor penting. Selama listrik dari energi fosil masih lebih murah, adopsi energi hijau akan sulit dilakukan secara masif.

Tanpa dukungan kebijakan yang progresif, seperti insentif bagi pengguna energi terbarukan dan pajak karbon bagi industri yang masih bergantung pada bahan bakar fosil, target netral karbon 2060 bisa jadi hanya sebatas wacana.

Oleh karena itu, diperlukan sinergi antara pemerintah, PLN, industri, dan masyarakat untuk mempercepat transisi energi, bukan justru menghambatnya dengan regulasi yang membatasi inovasi.

PLN Tidak Bisa Sendiri, Harus Bekerjasama

Jika PLN tetap berusaha memonopoli sektor listrik tanpa berkolaborasi, target netral karbon di 2060 hanya akan menjadi angan-angan. Dengan pertumbuhan pesat industri, digitalisasi, dan permintaan energi yang semakin tinggi, kerja sama dengan masyarakat dan sektor swasta adalah kunci.

PLN harus menyadari bahwa era energi bersih membutuhkan sinergi yang lebih luas. Jika PLN membuka pintu kolaborasi, Indonesia dapat bergerak lebih cepat menuju sistem energi yang lebih berkelanjutan dan memastikan bahwa target netral karbon di tahun 2060 benar-benar dapat tercapai.

Jayalah Indonesiaku!

Pin It on Pinterest

Share This